Profil Biografi, Fakta dan Kisah Nyai Khoiriyah Hasyim Perempuan NU Mendunia


Nyai Khoiriyah Hasyim lahir di Tebuireng, pada tahun 1906. Beliau merupakan putri Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pembesar NU. Mbaknya KH. A. Wahid Hasim yang sejak kecil mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya.

Nyai Khoiriyah Hasyim acapkali mengikuti pengajian ayahnya dari balik satir. Tak seperti saudara laki-lakinya yang mendapatkan kesempatan menimba ilmu diluar rumah. Kendati demikian, tak mengurangi semangat belajar keilmuan dan akhlak yang terpuji. Selain belajar ilmu Al-Qur’an juga belajar kitab kuning. Beliau memiliki ketekunan dan kemandirian dalam hal belajar, juga keberanian bilamana tak paham dengan apa yang dipelajari.

Jika menemui kesulitan dalam belajar maka dengan segera bertanya langsung kepada ayahnya. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari merupakan pembimbing utamanya. Baik dalam hal keilmuan, kepribadian, dan hal lainnya. Tentu saja, ibunya juga ikut serta berkontribusi. Terlahir dari keluarga terdidik dan agamis begitu juga dengan lingkungannya, ikut serta mendorong Nyai Khoiriyah dalam belajar dan bergaul. Tentu hal itu menjadi istimewa. Tak semua orang bisa senasib dengannya. Kata sebagian orang beda nasab beda nasib. Tapi tidak juga, banyak orang nasab kurang baik tapi bisa melampui.

Pada umur 13 tahun Nyai Khoiriyah Hasyim sudah terlihat dewasa. Maka dari itulah ayahnya lantas menikahkan dengan salah seorang santrinya yang pandai dan alim, yakni; KH. Ma’sum Ali, santri asal Maskumbambang, Gresik. Beliau merupakan salah satu santri senior Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Suami Nyai Khoiriyah dikenal pandai dan alim. Ahli dibidang ilmu falak, ilmu sharaf, dan ilmu lainnya. Kitab Amtsilatu Tasrifiyah yang selalu menjadi pegangan dan pedoman para santri di seluruh pesantren di Indonesia merupakan karya suami Nyai Khoiriyah.

Mendapatkan suami yang pandai dan alim tentu menjadikan beliau sangat bahagia dunia dan akhirat. Beliau pun banyak mengaji langsung kepada suaminya sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan yang selama ini diperoleh dari ayahnya, beberapa kitab kuning yang dipelajari; kitab fiqh, hadis, Tafsir jalalain, Fathul Muin, Tahrir Asymuni, Jauhar Maknun Alfiyah, Jamiul Jawami, al-Hikam, dan lainnya. Setelah menikah dengan KH. Maksum Ali, Nyai Khoiriyah Hasyim menempati rumah sederhana di dusun seblak. Inilah cikal bakal berdirinya pesantren Seblak.

Pada tahun 1930, membuka Madrasah Salafiyah Syafiiyah, TK Ibtidaiyah yang masih tingkatan sifir awaldan tsani. Jika para santri ingin belajar lebih tinggi maka disuruh melanjutkan di Pesantren Tebuireng. Kiai Maksum Ali meski memiliki pesantren sendiri namun masih ikut mengajar di Tebuireng. Konon beliau juga pernah menjadi lurah pondok pesantren Tebuireng seperti KH. A. Wahab Hasbullah selama menyantri dibawah asuhan kiai Hasyim Asy’ari. Kehidupan Nyai Khoiriyah dengan suaminya berjalan penuh dengan keharmonisan.

Dikarunia dua putri, Abidah dan Jamilah. Keduanya inilah calon penerus perjuangan orangtuanya di Pesantren Seblak. Perjalanan pernikahan yang dibangun dengan Kiai Maksum Ali tiba-tiba roboh. Suaminya yang begitu dicintainya wafat. Tentu menjadi pukulan berat bagi Nyai Khoiriyah Hasyim. Beliau pun menggantikan suaminya menjadi pengasuh pesantren. Amat langka di zaman itu, perempuan menjadi pengasuh pesantren. Pesantren Seblak dalam kendalinya. Dari mulai urusan pengajian hingga pembinaan santri.
Pada tahun 1938 Nyai Khoiriyah Hasyim di persunting oleh KH. Muhaimin. Seorang kiai yang cakap ilmu dan alim. Beliau berasal dari Lasem Jawa Tengah. Suaminya merupakan kepala Madrasah Darul Ulum di Makkah. Setelah menikah maka Nyai Khoiriyah pun meninggkalkan kampung halaman. Beliau tinggal di Makkah bersama suaminya. Bahkan,mendirikan lembaga pendidikan bagi kaum perempuan yakni, Madrasatul Bannat. Tentunya menjadi salah satu sosok perempuan pesantren pertama yang menjadi orang besar dan berpengaruh di tanah suci.

Di Makkah kehidupan Nyai Khoriyah Hasyim kembali menemui jalan pahit dan getir. Dimana suami yang begitu dicintai dan disayangi kembali meninggalkannya. Dua lelaki hebat yang pernah bersanding dengannya selalu diambil sang Maha Hidup lebih dahulu. Setelah, Kiai Muhaimin wafat pada tahun 1956 Nyai Khairiyah pun tetap sabar menerima semuanya dengan ikhlas.

Selama 20 tahun lebih beliau hidup di Makkah, tentu bukan waktu yang singkat. Kepulangannya ke tanah kelahirannya, Indonesia berkat ajakan Presiden Soekarno. Beliau selaku orang nomor satu di republik ini, membutuhkan sosok orang hebat untuk diajak berjuang bersama membangun negeri ini, maka Putri Hadrtussyaikh ini mau pulang. Sejak kepulangannya dari tanah suci, beliaupun menuju Jombang. Dimana keluarga berkumpul disana.

Intelektualitas Nyai Khairiyah Hasyim tidak ada yang meragukan. Baik terhadap penguasaan terhadap kitab kuning, manajemen pendidikan, ketrampilan, dan lainnya.

Selain ahli ilmu Nyai Khoiriyah Hasyim juga memiliki ketrampilan, yakni mendesain dan membuat kerudung buat kaum perempuan, bernama Rubu’. Karyanya tersebut dilatari oleh salah satunya fenomena kerudung yang saat itu dipandangnya kurang elegan. Desainer Perempuan dari pesantren Seblak pun menjadikan seragam wajib bagian atas bagi para santrinya. Hingga kini pun kerudung rubu menjadi identitas santriwati Seblak.

Dalam Islam ada beberapa perempuan yang layak dijadikan inspirasi. Seperti, Khadijah, Aisyah, Adawiyah, dll. Nyai Khairiyah merupakan salah satu representasi dari kaum hawa yang berasal dari pesantren. Beliau tak kalah hebat dengan orang_orang hebat di zamannya baik yang dari kalangan laki laki maupun perempuan. Sampai kapanpun, namanya akan selalu harum. Layak, bagi anda para kaum perempuan yang sedang berproses belajar utamanya santriwati yang ada di Pesantren.

Sumber :

https://www.facebook.com/groups/107958196540144/permalink/339496310052997