Peningkatan suhu permukaan laut akibat pencemaran lingkungan kini menjadi ancaman nyata terhadap penyebaran penyakit zoonosis di kawasan pesisir.
Fenomena ini bukan lagi sebatas kekhawatiran akademis, melainkan sudah mulai menunjukkan dampaknya pada kehidupan masyarakat yang bergantung pada ekosistem laut.
Perubahan iklim, pencemaran air laut, dan pergeseran rantai ekologi laut telah membuka jalan bagi patogen dari hewan laut menyebar ke manusia.
Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa pemanasan suhu permukaan laut bukan hanya merusak biota laut, tetapi juga memperbesar risiko penyebaran penyakit yang bersumber dari hewan ke manusia, atau dikenal dengan istilah zoonosis.
Kondisi tersebut diperburuk oleh adanya limbah industri dan domestik yang mencemari laut, yang memicu ketidakseimbangan ekosistem laut dan mempercepat mutasi patogen.
Wilayah pesisir menjadi titik paling rentan, di mana interaksi antara manusia dan hewan laut meningkat karena aktivitas ekonomi seperti perikanan dan pariwisata.
Dilansir dari pafiprovinsibengkulu.org, kondisi air laut yang lebih hangat mendorong proliferasi mikroorganisme patogen seperti Vibrio vulnificus, yang dikenal menyebabkan infeksi kulit serius bahkan kematian bila tidak ditangani cepat.
Di sisi lain, peningkatan suhu laut juga membuat beberapa spesies inang seperti kerang dan ikan berpindah ke daerah yang lebih dingin, membawa serta patogen baru ke lingkungan yang sebelumnya steril.
Hasil studi dari berbagai lembaga lingkungan via pafisabangmarauke.org menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, kejadian infeksi zoonosis yang berasal dari laut meningkat secara signifikan.
Wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, disebut sebagai hotspot baru penyebaran penyakit zoonosis akibat kombinasi pencemaran laut dan perubahan iklim yang ekstrem.
Berdasarkan analisis data dari lembaga kelautan internasional, suhu permukaan laut di perairan Indonesia mengalami peningkatan rata-rata 0,2 derajat Celsius setiap dekade sejak 1980.
Perubahan kecil ini ternyata cukup untuk memicu ketidakseimbangan besar dalam komunitas mikroba laut, termasuk berkembangnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
Masyarakat nelayan di beberapa daerah pesisir Indonesia mulai melaporkan kasus infeksi kulit dan pencernaan yang diduga berasal dari paparan air laut tercemar.
Meski belum banyak penelitian yang secara langsung menghubungkan kasus-kasus ini dengan zoonosis, tren global menunjukkan pola yang serupa di berbagai negara tropis dan subtropis.
Peneliti lingkungan dari beberapa universitas di Indonesia menilai bahwa pengawasan kualitas air laut belum menjadi prioritas nasional yang terintegrasi, padahal dampaknya bisa merambah sektor kesehatan.
Kurangnya sistem pemantauan suhu laut dan konsentrasi patogen membuat respon terhadap potensi wabah menjadi lambat dan tidak tepat sasaran.
Sementara itu, aktivitas penangkapan ikan, budidaya laut, serta pariwisata bahari terus meningkat tanpa diiringi pengelolaan limbah yang memadai.
Laut yang menjadi sumber kehidupan dan pangan justru berubah menjadi ladang penyakit ketika keseimbangan ekologinya terganggu.
Dalam konteks global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa perubahan suhu laut menjadi salah satu faktor yang memperbesar risiko penyebaran penyakit infeksi lintas spesies.
Penyakit seperti leptospirosis, hepatitis A, hingga infeksi parasit laut kini menjadi ancaman baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam agenda kesehatan masyarakat.
Ketika manusia, melalui aktivitas pencemaran, merusak habitat laut, maka rantai penularan patogen yang selama ini terisolasi dalam ekosistem laut menjadi terbuka.
Perlu strategi nasional yang melibatkan lintas sektor – lingkungan, kelautan, kesehatan, hingga pendidikan – untuk menanggulangi dampak jangka panjang dari pemanasan suhu permukaan laut.
Edukasi kepada masyarakat pesisir tentang bahaya zoonosis laut harus dimulai sejak dini, termasuk pelatihan tentang sanitasi, penanganan hewan laut, dan pelaporan gejala penyakit.***