Fenomena efek rumah kaca semakin meningkatkan kerentanan masyarakat perkotaan terhadap berbagai penyakit tropis.
Kenaikan suhu global akibat akumulasi gas rumah kaca telah memicu perubahan iklim yang signifikan di kawasan perkotaan.
Kondisi ini menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan vektor penyakit tropis seperti nyamuk Aedes aegypti.
Dampak dari pemanasan global tidak hanya dirasakan dalam bentuk cuaca ekstrem, tetapi juga turut memicu ledakan kasus penyakit menular di kota-kota besar Indonesia.
Dilansir dari pafijakpus.org, perubahan iklim yang diakibatkan efek rumah kaca telah menyebabkan suhu di wilayah urban meningkat lebih cepat dibandingkan daerah rural.
Fenomena urban heat island atau pulau panas perkotaan terjadi ketika permukaan beton dan aspal menyerap panas matahari lalu memancarkannya kembali, sehingga meningkatkan suhu lingkungan secara signifikan.
Kenaikan suhu ini menurut pafikotalampung.org berdampak langsung pada percepatan siklus hidup nyamuk pembawa virus dengue, chikungunya, dan zika.
Wilayah padat penduduk seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan tercatat mengalami lonjakan kasus demam berdarah dengue (DBD) dalam lima tahun terakhir, seiring dengan perubahan pola iklim dan suhu yang makin ekstrem.
Selain suhu, peningkatan kelembaban akibat curah hujan tak menentu juga menciptakan habitat ideal bagi jentik nyamuk berkembang biak di lingkungan yang sebelumnya tidak dianggap berisiko.
Pakar lingkungan perkotaan menilai bahwa tren ini akan terus meningkat jika tidak disertai langkah adaptasi kebijakan kesehatan publik yang tepat sasaran.
Dalam analisis yang dilakukan oleh sejumlah institusi riset iklim dan kesehatan, diketahui bahwa kota-kota besar di Indonesia kini memiliki indeks kerentanan penyakit tropis yang lebih tinggi dibandingkan dekade sebelumnya.
Kondisi ini diperburuk dengan minimnya ruang terbuka hijau, sistem drainase yang buruk, serta padatnya permukiman yang tidak memiliki akses sanitasi memadai.
Efek rumah kaca juga berkontribusi terhadap meningkatnya konsentrasi ozon di permukaan tanah, yang memperburuk kondisi saluran pernapasan masyarakat dan memperlemah sistem kekebalan tubuh.
Akibatnya, masyarakat perkotaan lebih rentan terhadap komplikasi penyakit tropis yang awalnya tidak terlalu mematikan.
Di beberapa rumah sakit rujukan, tercatat adanya peningkatan jumlah pasien dengan gejala DBD yang memburuk menjadi dengue shock syndrome, terutama pada kelompok usia produktif dan anak-anak.
Kementerian Kesehatan mencatat bahwa sebagian besar kasus berat berasal dari lingkungan urban yang mengalami peningkatan suhu malam hari secara signifikan.
Suhu malam yang tinggi menyebabkan gangguan tidur dan stres termal, dua faktor yang turut menurunkan daya tahan tubuh individu.
Lebih jauh lagi, tingginya polusi udara di perkotaan berinteraksi secara sinergis dengan efek rumah kaca, menciptakan kombinasi bahaya ganda bagi sistem imun manusia.
Kondisi ini mendorong peningkatan angka rawat inap dan membebani fasilitas kesehatan di wilayah metropolitan.
Sebagian pengamat lingkungan dan epidemiolog menggarisbawahi pentingnya integrasi antara kebijakan mitigasi iklim dengan upaya pengendalian penyakit tropis.
Pendekatan adaptif seperti peningkatan ruang terbuka hijau, penggunaan material bangunan yang ramah lingkungan, serta optimalisasi sistem peringatan dini berbasis cuaca menjadi solusi yang kini banyak didorong oleh komunitas ilmiah.
Langkah konkret yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengadopsi teknologi smart city untuk pemantauan suhu mikro dan kelembaban lingkungan secara real-time, guna memprediksi lonjakan populasi nyamuk dan potensi wabah.